Tepung Ikan (Gambar: Slimat) |
Meskipun saat ini Indonesia sedang berusaha keras mengurangi ketergantungan impor bahan baku pakan ikan, namun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengakui kalau produksi pakan lokal kualitasnya masih belum mendekati produk impor. Kelemahan tersebut, bisa terjadi karena saat ini Indonesia baru memulai pengurangan impor.
“Jadi, baru tahun ini kita mulai mengurangi ketergantungan impor. Jadi, kita menggenjot produksi lokal. Karenanya, kualitas juga saat ini masih belum sebaik impor, walaupun ada juga produksi lokal di Jembrana (Bali) yang kualitasnya sangat baik,” ungkap Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP R. Nilanto Perbowo di Jakarta, Kamis (8/1/2016).
Di antara faktor tersebut, adalah masalah dana dan juga sumber daya manusia (SDM) di masing-masing daerah. Namun, masalah tersebut, kata Nilanto, perlahan mulai diselesaikan dengan membangun pabrik-pabrik pengolahan tepung ikan di seluruh Indonesia.
Untuk 2016 saja, kata Nilanto, KKP sudah merencanakan akan membangun pabrik baru di 3 (tiga) lokasi, seperti di Kotawaringin Barat, Halmahera Selatan, dan Kendari. Untuk pembangunan 3 pabrik tersebut, sudah disiapkan anggaran sebesar Rp53,9 miliar.
“Kapasitas produksi, kita sedang coba kurangi impor tepung ikan. Produksi tepung ikan relatif cukup. Untuk ikan memerlukan kualitas lebih tinggi terutama protein yang lebih tinggi. Dalam konteks kita kurangi impor ada syarat,” ujar dia.
“Syarat tepung ikan harus bersertifikat. Untuk hentikan impor tepung ikan, oleh karena itu programnya kita tingkatkan mutu menuju tepung ikan bersertifikat,” tambah dia.
Penurunan Tax Allowance
Selain berusaha mengurangi ketergantungan impor pakan ikan, KKP pada 2016 juga akan mengejar target untuk menurunkan tax allowance dari Rp500 miliar menjadi Rp30 miliar. Penurunan tersebut, menurut Nilanto Perbowo, berpengaruh banyak pada penyerapan ikan lebih baik lagi.
Untuk bisa mewujudkan penurunan pajak tersebut, Nilanto menyebutkan, pihaknya sudah melakukan upaya di berbagai kesempatan, termasuk dengan membicarakannya secara langsung bersama Kementerian Perdagangan.
“Dengan adanya tax allowance dari Rp500 miliar ke Rp30 miliar, itu bertujuan agar ikan kita bisa diserap dan disimpan dengan sistem rantai dingin. Nantinya, kemudahan ini bisa dijangkau lebih luas lagi,” tutur dia.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Terkait dengan berlakunya kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai pada 1 Januari 2016, Nilanto Perbowo mengakui akan ada persaingan yang sangat ketat. Namun, dia melihat, persaingan untuk sektor kelautan dan perikanan, hanya akan terjadi antara tiga negara saja, yakni Indonesia, Vietnam, dan Thailand.
“Kita adalah urutan nomor tiga. Dua besarnya tetap dipegang Thailand dan Vietnam. Meski kita sesama negara eksportir. Tapi, kita juga tahu kalau Thailand dan Vietnam itu adalah pemain utama di ASEAN saat ini,” cetus dia.
Namun, walau potensi di ASEAN tidak terlalu besar, Nilanto menilai peluang masih tetap ada. Terutama, karena Indonesia sudah memberlakukan moratorium kapal eks asing dan pembatasan illegal fishing. Selain itu, luas perairan Indonesia juga dinilai masih sangat unggul dari negara lain di ASEAN.
“Ini keunggulan kita dan harus bisa memanfaatkannya dengan baik. Saya tidak tahu apakah Vietnam punya armada sebesar yang Thailand punya. Namun, apapun itu, kita unggul dari sumber daya lautnya,” tandas dia.
[Sumber: Januari 206, M. Ambari, Mongabay]
0 comments:
Post a Comment